Rabu, 05 April 2017

UNTUK SAUDARAKU YANG INGIN MENGHAFAL AL-QURAN


UNTUK SAUDARAKU YANG INGIN MENGHAFAL AL-QURAN,

BISMILLAH...
Oleh: DR. Anas Ahmad Kurzun Hafidzahullah

SESUNGGUHNYA Allah Subhana wa Ta'ala yang MENJAMIN KEMURNIAN Al-Qur`n telah memudahkan umat ini untuk menghafal dan mempelajari Kitab-NYA. Allah Subhana wa Ta'ala memerintahkan para Hamba-NYA agar membaca ayat-ayat-NYA, merenungi artinya dan mengamalkan serta BERPEGANG TEGUH dengan petunjuk-NYA. DIA Subhana wa Ta'ala telah menjadikan HATI PARA HAMBA YANG SHALIH sebagai wadah untuk memelihara Firman-NYA. Dada mereka seperti lembaran-lembaran yang menjaga ayat-ayat-NYA.

ALLAH Subhana wa Ta'ala berfirman: "SEBENARNYA, AL-QUR`N itu adalah ayat-ayat yang NYATA di dalam dada orang-orang yang DIBERI ILMU. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat KAMI kecuali orang-orang yang zalim" (QS. AL-ANKABT: 49)

DAHULU, para SHAHABAT Radhiyallahu 'anhum yang mulia dan SALAFUSSHALIH, mereka BERLOMBA-LOMBA menghafal Al-Qur`n, GENERASI DEMI GENERASI. BERSUNGGUH-sungguh MENDIDIK anak-anak mereka dalam NAUNGAN AL-QUR`N, baik belajar maupun menghafal disertai dengan PEMANTAPAN ILMU TAJWID dan juga mentadabburi yang tersirat dalam Al-Qur`n, (yaitu) berupa janji dan ancaman.

Karena, sebagaimana disebutkan oleh IMAM IBNU RAJAB AL-HANBALI Rahimahullah: Bahwasanya DAHULU, PARA SALAF mewasiatkan agar betul-betul MEMPERBAGUS dan MEMPERBAIKI AMALAN (membaca dan menghafal Al-Qur`n, Red.) Bukan hanya sekedar memperbanyak (membaca dan menghafalnya, Red.) karena AMALAN YANG SEDIKIT disertai dengan memperbagus dan memantapkannya, ITU LEBIH UTAMA daripada amalan yang banyak TANPA DISERTAI dengan pemantapan. Lihat RISALAH SYARAH HADITS SYADAD BIN AUS, karya IBNU RAJAB, hal.35

Mudah-mudahan dengan kedatangan bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini, dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan perhatian kita kepada Al-Qur`n, mempelajarinya,mentadabburi, memperbaiki bacaan, dan menghafalnya. (Redaksi).

SATU: IKHLAS, KUCI ILMU DAN PEMAHAMAN
Jadikanlah NIAT DAN TUJUAN menghafal untuk MENDEKATKAN diri kepada ALLAH Subhana wa Ta'ala dan SELALU INGAT bahwasanya yang sedang Anda BACA IALAH KALAMULLAH. Berhati-hatilah Anda dengan faktor yang MENJADI PENDORONG dalam MENGHAFAL, untuk meraih KEDUDUKAN di tengah-tengah MANUSIA ataukah ingin memperoleh sebagian dari KEUNTUNGAN DUNIA, UPAH dan HADIAH? ALLAH Subhana wa Ta'ala TIDAK MENERIMA sedikitpun dari AMALAN melainkan apabila IKHLAS karena-NYA.

ALLAH Subhana wa Ta'ala Berfirman: "Padahal mereka TIDAK DISURUH kecuali supaya menyembah ALLAH dengan MEMURNIKAN KETAATAN Kepada-NYA dan (menjalankan) agama dengan lurus." (QS. AL-BAYYINAH: 5)

DUA: MENJAUHI MAKSIAT DAN DOSA
Hati yang PENUH dengan KEMAKSIATAN dan SIBUK dengan DUNIA, TIDAK ada baginya Tempat CAHAYA AL-QURN. Maksiat merupakan PENGHALANG dalam menghafal, mengulang dan men-TADABBURI AL-QUR`N. Adapun GODAAN-GODAAN setan dapat MEMALINGKAN seseorang dari MENGINGAT ALLAH Azza wa Jalla. Sebagaimana Firman-NYA: "Setan telah MENGUSAI MEREKA lalu menjadikan mereka LUPA MENGINGAT ALLAH." (QS. AL-MUJADILAH: 19)

'ABDULLH BIN AL-MUBARAK Rahimahullah seorang TABIIN meriwayatkan dari ADH-DHAHAK BIN MUZAHIM, bahwasanya dia berkata: TIDAK seorangpun yang MEMPELAJARI AL-QUR`N kemudian dia LUPA, melainkan KARENA DOSA yang telah dikerjakannya. Karena ALLAH Tabaraka wa Taala Berfirman: Dan apa saja MUSIBAH YANG MENIMPA KAMU maka adalah disebabkan oleh PERBUATAN TANGANMU SENDIRI. (QS. ASY-SYRA: 30) Sungguh! LUPA terhadap AL-QUR`N merupakan MUSIBAH yang PALING BESAR.

Ketahuilah, IMAM ASY-SYAFII Rahimahullah yang TERKENAL dengan KECEPATANNYA MENGHAFAL. Pada suatu hari dia MENGADU kepada gurunya, WAQI` bahwa HAFALAN Al-Qur`n-nya terbata-bata. Maka GURUNYA memberikan TERAPI MUJARAB, agar dia MENINGGALKAN MAKSIAT dan MENGOSONGKAN HATI dari segala hal yang dapat memalingkannya dari Rabb.

IMAM ASY-SYAFII Rahimahullah berkata:
Saya MENGADU kepada WAQI buruknya hafalanku
Maka dia menasihatiku agar MENINGGALKAN MAKSIAT
Dan da mengkabarkan kepadaku bahwa ILMU ADALAH CAHAYA
Dan CAHAYA ALLAH, TIDAK diberikan kepada PELAKU MAKSIAT

IMAM IBNU MUNADA Rahimahullah berkata: "Sesungguhnya MENGHAFAL memiliki beberapa SEBAB. Di antaranya, yaitu MENJAUHKAN diri dari hal-hal yang TERCELA. Hal itu dapat terwujud, apabila seseorang MENCEGAH DIRI (dari KEBURUKAN, Pent.), MENGHADAP Kepada Allah Jalla wa Ala dengan RIDHA, memasang TELINGANYA dan PIKIRANNYA BERSIH dari ar-rin."

Yang dimaksud dengan AR-R`IN, ialah sesuatu yang MENUTUPI HATI dari keburukan maksiat, sebagaimana Firman ALLAH Subhana wa Ta'ala: "Sekali-kali TIDAK (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka USAHAKAN ITU MENUTUP HATI MEREKA." (QS. AL-MUTHAFFIFIN: 14]

Barangsiapa MENJAUHKAN dirinya dari KEMAKSIATAN, Niscaya ALLAH Azza wa Jalla MEMBUKAKAN hatinya untuk selalu Mengingat-NYA, mencurahkan HIDAYAH kepadanya dalam memahami Ayat-ayat-NYA, memudahkan baginya MENGHAFAL dan MEMPELAJARI Al-Qur`n, sebagaimana Firman ALLAH Subhana wa Ta'ala: "Dan orang-orang yang BERJIHAD untuk (mencari keridhaan) KAMI, benar-benar akan KAMI Tunjukkan kepada MEREKA jalan-jalan KAMI. Dan SESUNGGUHNYA ALLAH benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik". [QS. AL-ANKABT: 69]

IMAM IBNU KATSIR Rahimahullah telah membawakan perkataan IBNU ABI HATIM berkaitan dengan MAKNA AYAT ini: "Orang yang melaksanakan apa-apa yang dia ketahui, NISCAYA ALLAH Azza wa Jalla akan MEMBERINYA PETUNJUK terhadap apa yang TIDAK dia ketahui.

TIGA: MEMANFAATKAN MASA KANAK-KANAK DAN MASA MUDA
Saat MASIH KECIL, hati lebih FOKUS karena sedikit kesibukannya. Dikisahkan dari al-AHNAF BIN QAIS, bahwasanya dia mendengar seseorang berkata: "BELAJAR PADA WAKTU KECIL, BAGAIKAN MENGUKIR DI ATAS BATU." Maka AL-AHNAF berkata: ORANG DEWASA lebih banyak AKALNYA, tetapi lebih SIBUK HATINYA.

Seharusnya siapapun yang telah BERLALU MASA MUDANYA supaya TIDAK menyia-nyiakan waktu untuk MENGHAFAL. Jika dia KONSENTRASIKAN HATINYA dari kesibukan dan kegundahan, niscaya dia akan MENDAPATKAN KEMUDAHAN dalam menghafal AL-QUR`N, yang tidak dia dapatkan pada selain Al-Qur`n. ALLAH Jalla wa Ala Berfirman: "Dan sesungguhnya telah KAMI mudahkan AL-QUR`N untuk pelajaran, maka ADAKAH yang mau MENGAMBIL PELAJARAN?" (QS. AL-QOMAR: 17) Demikianlah di antara KEISTIMEWAAN AL-QUR`N.

Perlu Anda KETAHUI, tatkala MANUSIA telah mencapai USIA TUA, syaraf penglihatannya akan MELEMAH. Kadangkala dia TIDAK MAMPU membaca AL-QUR`N yang ada di mushaf. Dengan demikian, yang pernah DIHAFAL DALAM HATINYA, akan dia dapatkan sebagai PERBENDAHARAAN yang besar. Dengannya dia membaca dan ber-SHALAT MALAM. Tetapi jika sebelumnya dia TIDAK PERNAH menghafal Al-Qur`n sedikitpun, maka ALANGKAH BESAR PENYESALANNYA.

EMPAT: MEMANFAATKAN WAKTU SEMANGAT DAN KETIKA LUANG
TIDAK SEPANTASNYA bagi Anda, wahai pembaca, menghafal pada saat JENUH, LELAH atau ketika pikiran Anda SEDANG SIBUK dalam urusan tertentu. Karena hal itu dapat mengganggu kosentrasi menghafal. Tetapi PILIHLAH ketika semangat dan PIKIRAN TENANG. Alangkah bagus, jika waktu MENGHAFAL dilakukan Bada SHALAT SUBUH. Saat itu merupakan SEBAIK-BAIK WAKTU bagi orang yang TIDUR SEGERA.

LIMA: MEMILIH TEMPAT YANG TENANG
Yaitu dengan MENJAUHI TEMPAT-tempat ramai dan bising. Sebab, hal itu akan mengganggu dan MEMBUAT PIKIRAN BERCABANG-CABANG. Maka ketika Anda sedang berada DI RUMAH bersama ANAK-ANAK, atau (sedang) di kantor, di TEMPAT BEKERJA, di tengah teman-teman, JANGAN COBA-coba menghafal sedangkan SUARA manusia di SEKITAR Anda. Atau di TENGAH JALAN ketika sedang mengemudi, di tempat PERDAGANGAN ketika transaksi jual beli. Ingatlah Firman ALLAH Subhana wa Ta'ala: "ALLAH sekali-kali TIDAK MENJADIKAN bagi seseorang 2 BIJI HATI dalam rongganya" (QS. AL-AHZAB: 3:4)

SEBAIK-BAIK TEMPAT yang Anda pilih untuk MENGHAFAL ialah rumah-rumah Allah (MASJID) agar mendapatkan PAHALA BERLIPAT GANDA. Atau di tempat lain yang TENANG, tidak membuat pendengaran dan PENGLIHATAN ANDA sibuk dengan yang ada di sekitar Anda.

NAM: KEMAUAN DAN TEKAD YANG BENAR
KEMAUAN yang KUAT lagi benar sangat memengaruhi dalam MENGUATKAN HAFALAN, memudahkannya dan dalam BERKOSENTRASI. Adapun seseorang yang menghafal karena PERMINTAAN orangtua atau gurunya TANPA DIDORONG oleh kemauannya sendiri, dia TIDAK AKAN MAMPU bertahan. Suatu saat pasti akan tertimpa PENYAKIT FUTUR (sindrom).

KEINGINAN bisa terus bertambah dengan MOTIVASI, menjelaskan PAHALA dan kedudukan para Penghafal AL-QUR`N, orang yang selalu BERSAMA Al-Qur`n dan MEMBERSIHKAN jiwa yang berlomba dalam HALAQAH, di rumah atau di sekolah. TEKAD YANG BENAR akan menghancurkan godaan-godaan setan dan dapat MENAHAN JIWA yang selalu memerintahkan keburukan.

IMAM IBNU RAJAB AL-HANBALI Rahimahullah berkata: "Barangsiapa memiliki TEKAD YANG BENAR, setan pasti akan PUTUSASA (mengganggunya). Kapan saja seorang hamba itu RAGU-RAGU, setan akan MENGGANGGU dan menundanya untuk melaksanakan amalan, serta akan MELEMAHKANNYA".

TUJUH: MENGGUNAKAN PANCA INDRA
Kemampuan dan KESANGGUPAN SESEORANG dalam menghafal BERBEDA-BEDA. Begitu juga KEKUATAN HAFALAN seseorang dengan yang lainnya BERTINGKAT-tingkat. Akan tetapi, MEMANFAATKAN beberapa PANCA INDRA dapat memudahkan urusan dan menguatkan HAFALAN DALAM INGATAN.

BERSUNGGUH-SUNGGUHLAH, wahai Pembaca, gunakanlah Indra PENGLIHATAN, PENDENGARAN dan UCAPAN dalam menghafal. Karena masing-masing indra tersebut memiliki METODE TERSENDIRI yang dapat mengantarkan HAFALAN KE OTAK. Apabila metode yang digunakan itu banyak, maka HAFALAN menjadi semakin KUAT DAN KOKOH.

Adapun caranya, yaitu Anda mulai TERLEBIH DAHULU membacanya dengan suara KERAS, apa yang hendak dihafalkan, sedangkan Anda melihat ke HALAMAN yang sedang ANDA BACA. Dengan terus melihat dan mengulanginya sampai halaman tersebut TEREKAM DALAM MEMORI ANDA. Sertakan PENDENGARAN Anda dalam mendengarkan bacaan, lalu merasa SENANG. Apalagi jika Anda membaca dengan suara SENANDUNG yang disukai oleh JIWA.

Seseorang yang MENGHAFAL AL-QUR`N dengan melihat MUSHAF, sedangkan dia diam, atau dengan cara MENDENGARKAN KASET MUROTTAL tanpa melihat mushaf atau merasa cukup ketika MENGHAFAL hanya membaca dengan SUARA LIRIH, maka semua metode ini TIDAK MENGANTARNYA mencapai tujuan dengan mudah.

Perlu Anda ketahui, bahwasanya (dalam MENGHAFAL) MANUSIA ADA 2 MACAM.
01= Orang yang LEBIH BANYAK MENGHAFAL dengan cara MENDENGAR daripada menghafal dengan MELIHAT mushaf. Ingatannya ini disebut SAMIYYAH (pendengaran).

02= Orang yang LEBIH BANYAK MENGHAFAL dengan cara MELIHAT. Apabila dia membaca 1 penggal ayat Al-Qur`n (akan) LEBIH BISA menghafal daripada (hanya dengan) mendengarkannya. Ingatannya ini disebut BASHARIYYAH (penglihatan).

Apabila ANDA TERMASUK DI ANTARA mereka, maka SEBELUM menghafal, perbanyaklah MEMBACA ayat dengan MELIHAT MUSHAF dalam waktu yang LEBIH LAMA. Kemudian tutuplah mushaf dan tulis ayat-ayat yang baru saja Anda HAFAL DENGAN TANGAN. Setelah itu COCOKKAN yang Anda tulis dengan MUSHAF, agar Anda mengetahui MANA YANG SALAH dan tempat-tempat HAFALAN YANG LEMAH sehingga Anda dapat MENGULANGI (untuk) memantapkannya.

Jika Anda MEMPERHATIKAN bahwa Anda selalu SALAH dalam 1 KALIMAT tertentu atau lupa setiap kali mengulangnya, maka TANAMKAN KALIMAT TERSEBUT DALAM MEMORI Anda dengan membuat kalimat serupa yang Anda ketahui. Dengan demikian, Anda akan MENGINGAT KALIMAT tersebut dengan kalimat yang ANDA BUAT.

IMAM IBNU MUNADA Rahimahullah telah MENUNJUKKAN kepada kita MASALAH INI dengan perkataannya: Seorang GURU HENDAKLAH mempraktekkan METODE ini kepada MURID. Yaitu memerintahkannya agar mengingat NAMA atau sesuatu yang dia ketahui yang SERUPA dengan kalimat AL-QUR`N yang dia selalu LUPA sehingga akan MENJADIKANNYA INGAT, insya Allah.

Kemudian beliau BERDALIL dengan perkataan ALI Radhiyallahu 'anhu kepada ABU MUSA Radhiyallahu 'anhu: Sesungguhnya RASULULLAH MEMERINTAHKAN agar aku memohon PETUNJUK dan KEBENARAN kepada ALLAH.

DELAPAN: MEMBATASI HANYA 1 CETAKAN MUSHAF
Bagi para PENGHAFAL, utamakan memilih CETAKAN mushaf yang DIAWALI pada tiap-tiap halamannya PERMULAAN ayat dan DIAKHIRI dengan akhir ayat. Ini memiliki PENGARUH SANGAT BESAR dalam menanamkan bentuk halaman DALAM MEMORI (ingatan), dan mengembalikan KONSENTRASI terhadap halaman tersebut ketika MENGULANG. Jika cetakan mushaf BERBEDA-BEDA, akan menimbulkan ingatan halaman dalam OTAK BERBEDA-BEDA dan akan membuyarkan hafalannya, serta TIDAK BISA KONSENTRASI.

Begitu pula saya WASIATKAN KEPADA SAUDARAKU agar bersungguh-sungguh menggunakan mushaf SAKU atau mushaf yang TERDIRI DARI BEBERAPA BAGIAN, sesuai dengan cetakan mushaf yang SEDANG ANDA HAFAL. Ini merupakan hal yang sangat baik. Setiap kali Anda mendapatkan WAKTU LUANG DAN SEMANGAT, di mana pun Anda berada, supaya segera MEMANFAATKAN WAKTU tersebut untuk menghafal HAFALAN BARU atau mengulang HAFALAN LAMA.

SEMBILAN: PENGUCAPAN YANG BETUL
Setelah Anda MEMILIH WAKTU, tempat yang sesuai dan membatasi HANYA 1 CETAKAN mushaf yang hendak Anda HAFAL, maka WAJIB bagi Anda membetulkan pengucapan dan MENGKOREKSI kalimat-kalimat Al-Qur`n kepada seorang guru yang MUTQIN (mampu) SEBELUM MULAI MENGHAFAL. Atau dengan cara mendengarkannya melalui KASET MURATTAL SEORANG QARI`. Hal ini supaya Anda TERJAGA dari kekeliruan. Karena apabila kalimat yang TELAH ANDA HAFAL ITU SALAH, akan SULIT bagi Anda MEMBETULKANNYA setelah terekam dalam memori.

IMAM IBNU MUNADA Rahimahullah berkata:"Ketahuilah! MENGHAFAL itu memiliki beberapa SEBAB. Di antaranya, seseorang MEMBACA kepada orang yang LEBIH BANYAK HAFALANNYA karena orang yang dibacakan kepadanya LEBIH MENGETAHUI KESALAHAN daripada orang yang membaca.

Wahai saudaraku! Bersungguh-SUNGGUHLAH MENGHADIRI MAJLIS-Majlis TAHFIZHUL-QUR`N, bertatap muka dengan para HAFIZH dan guru-guru yang MUTQIN, agar Anda TERHINDAR dari kesalahan dan dapat MENGHAFAL dengan LANDASAN YANG KOKOH.

Saya WASIATKAN JUGA kepada saudaraku para PENGAJAR Al-Qur`n, di masjid-masjid, di sekolah-sekolah agar BERSUNGGUH-SUNGGUH MEMBETULKAN bacaan para murid TERHADAP AYAT-ayat yang hendak mereka HAFAL dan mengarahkan mereka supaya betul-betul MENGKOREKSI KALIMAT-kalimat AL-QUR`N yang sering terjadi padanya kesalahan. Begitu juga seorang guru MEMINTA KEPADA PARA MURIDNYA agar selalu mengulang-ulang hafalan KEPADA SESAMA TEMAN untuk menjaga mereka dari kemungkinan TERJADINYA KESALAHAN.

SEPULUH: HAFALAN YANG SALING BERSAMBUNG
JANGAN LUPA, wahai saudaraku! Jadikanlah hafalan Anda SALING BERKAITAN. Setiap kali Anda MENGHAFAL 1 AYAT kemudian merasa telah LANCAR, maka ulangilah membaca ayat tersebut dengan AYAT SEBELUMNYA. Kemudian lanjutkan menghafal ayat berikutnya sampai 1 HALAMAN dengan menggunakan METODE INI.

Di samping itu, apabila Anda telah MENGHAFAL 1 HALAMAN, maka harus membacanya KEMBALI sebelum meneruskan ke HALAMAN BERIKUTNYA. Begitu pula apabila HAFALAN Anda sudah SEMPURNA 1 SURAT, hendaklah menggunakan METODE TADI, agar rangkaian ayat-ayat itu DAPAT TERINGAT dalam memori Anda. Sungguh, jika TIDAK menggunakan metode ini, membuat HAFALAN ANDA TIDAK TERIKAT. Dan ketika MENYETOR HAFALAN, Anda akan membutuhkan seorang guru yag selalu MENGINGATKAN permulaan tiap-TIAP AYAT. Begitu juga akan membuat Anda MENGALAMI KESULITAN KETIKA MURAJA`AH hafalan.

SEBELAS: MEMAHAMI MAKNA AYAT
Di antara yang DAPAT MEMBANTU Anda menggabungkan ayat dan MUDAH DALAM MENGHAFAL, yaitu terus-menerus MERUJU` kepada kitab-kitab TAFSIR YANG RINGKAS, sehingga Anda memahami MAKNA AYAT meskipun GLOBAL.

DUA BELAS: HAFALAN YANG MANTAP
Sebagian PEMUDA membaca PENGGALAN AYAT, 2 sampai 3x saja. Lalu menyangka bahwa dia telah HAFAL. Lantas pindah ke PENGGALAN AYAT berikutnya karena ingin tergesa-gesa disebabkan WAKTUNYA SEMPIT atau karena PERSAINGAN di antara temannya atau disebabkan DESAKAN seorang GURU kepadanya. Perbuatan ini, sama sekali TIDAK BENAR dan tidak bermanfaat. Sedikit TETAPI TERUS-MENERUS ITU LEBIH BAIK, DARIPADA banyak tetapi TIDAK berkesinambungan. HAFALAN yang tergesa-gesa mengakibatkan CEPAT LUPA.

Fakta ini TERSEBAR di kalangan para PENGHAFAL. Penyebabnya, kadangkala seseorang MERASA PUAS dan TERTIPU terhadap dirinya ketika HANYA MENCUKUPKAN membaca PENGGALAN AYAT beberapa kali saja. Apabila dia merasa penggalan ayat tadi SUDAH MASUK DALAM INGATANNYA, maka dia beralih ke ayat berikutnya. Dia MENYANGKA, semacam ini SUDAH CUKUP baginya.

FAKTOR yang mendukung fakta ini karena SEBAGIAN pengampu hafalan MENGABAIKAN PERSOALAN ini ketika penyetoran hafalan. Padahal SEMESTINYA, SEORANG PENGHAFAL TIDAK boleh berhenti menghafal dan MENGULANG dengan anggapan bahwa dia TELAH HAFAL ayat-ayat tersebut. Bahkan dia harus MEMANTAPKAN HAFALANNYA secara terus-menerus mengulang ayat-ayat yang dihafalnya. Karena setiap kali mengulang kembali, akan lebih MEMPERBAGUS HAFALANNYA dan meringankan bebannya KETIKA MURAJA`AH.

TIGA BELAS: TERUS MENERUS MEMBACA
Tetaplah terus MEMBACA AL-QUR`N setiap kali Anda mendapatkan kesempatan. Karena banyak MEMBACA, dapat memudahkan menghafal dan MEMBUAT HAFALAN menjadi bagus. Banyak membaca termasuk metode PALING UTAMA dalam MURAJA`AH.

Cobalah Anda perhatikan, SEBAGIAN SURAT dan ayat yang sering Anda baca dan DENGAR, maka ketika MENGHAFALNYA, Anda TIDAK PERLU bersusah payah. Sehingga apabila seseorang telah SAMPAI HAFALANNYA pada ayat-ayat tersebut, maka dengan mudah dia akan MENGHAFALNYA. Contohnya Surat AL-WQI`H, AL-MULK, akhir surat AL-FURQN, apalagi JUZ AMMA dan beberapa AYAT TERAKHIR dari Surat AL-BAQARAH.

(Dengan SERING membaca), dapat DIBEDAKAN antara seorang murid (yang satu) dengan murid lainnya. Barangsiapa yang memiliki KEBIASAAN SETIAP HARINYA selalu membaca dan memiliki TARGET TERTENTU yang dia baca, maka menghafal baginya (menjadi) MUDAH dan RINGAN. Hal ini dapat DIBUKTIKAN dalam banyak keadaan. Ayat mana saja yang ingin DIHAFAL, hampir-hampir sebelumnya seperti SUDAH DIHAFAL. Akan tetapi yang sedikit membaca dan TIDAK MEMBUAT TARGET tertentu setiap harinya untuk dibaca, dia akan mendapatkan kesulitan yang besar ketika menghafal.

Perlu diketahui, WAHAI SAUDARAKU! MEMBACA AL-QUR`N termasuk ibadah PALING UTAMA dan mendekatkan diri kepada ALLAH Azza wa Jalla. SETIAP HURUF yang Anda baca mendapatkan 1 KEBAIKAN dan kebaikan akan DILIPATGANDAKAN menjadi 10 KEBAIKAN. Sama halnya dengan BANYAK MEMBACA surat-surat yang telah DIHAFAL, dia dapat menambah KEMANTAPAN HAFALAN dan tertanamnya dalam MEMORI.

Khususnya pada WAKTU SHALAT, maka bersungguh-SUNGGUHLAH Anda melakukan MURAJA`AH yang telah dihafal dengan membacanya ketika SHALAT. Ingatlah, QIYAMUL-LAIL (bangun malam) dan ketika Shalat TAHAJJUD beberapa rakaat, Anda MEMBACA ayat-ayat yang ANDA HAFAL merupakan pintu PALING AGUNG di antara pintu-pintu KETAATAN dan membuat ORANG LAIN YANG SULIT menghafal MENJADI IRI terhadap apa yang ANDA HAFAL.

NABI Shalallahu 'alaihi wa sallam telah MEMBIMBING kita kepada METODE INI, yang merupakan KEBIASAAN orang-ORANG SHALIH, supaya Hafalan AL-QUR`N kita menjadi kuat MELEKAT dan SELAMAT dari penyakit lupa. Dari SHAHABAT 'ABDULLH BIN 'UMAR Radhiyallahu 'anhu bahwasanya NABI Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Dan apabila shahibil-Qur`n (PENGHAFAL AL-QUR`N) menghidupkan malamnya, lalu MEMBACA AL-QUR`N pada malam dan sianganya, niscaya dia akan INGAT. Dan apabila dia TIDAK BANGUN, maka niscaya dia akan LUPA". [HR. MUSLIM]

Wallahu Alam


sumber : http://www.fourlook.com/s/UNTUK%20SAUDARAKU%20YANG%20INGIN%20MENGHAFAL%20AL-QURAN

BERBENAH DIRI UNTUK PENGHAFAL AL-QUR’AN


BERBENAH DIRI UNTUK PENGHAFAL AL-QUR’AN

Oleh
Dr. Anas Ahmad Kurzun

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjamin kemurnian Al-Qur`ân telah memudahkan umat ini untuk menghafal dan mempelajari kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya agar membaca ayat-ayat-Nya, merenungi artinya, dan mengamalkan serta berpegang teguh dengan petunjuknya. Dia Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan hati para hamba yang shalih sebagai wadah untuk memelihara firman-Nya. Dada mereka seperti lembaran-lembaran yang menjaga ayat-ayat-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sebenarnya, Al-Qur`ân itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim …”[al-Ankabût/29:49].

Dahulu, para sahabat Radhiyallahu ‘anhum yang mulia dan Salafush-Shalih, mereka berlomba-lomba menghafal Al-Qur`ân, generasi demi generasi. Bersungguh-sungguh mendidik anak-anak mereka dalam naungan Al-Qur`ân, baik belajar maupun menghafal disertai dengan pemantapan ilmu tajwid, dan juga mentadabburi yang tersirat dalam Al-Qur`ân, (yaitu) berupa janji dan ancaman.

Berikut ini adalah nasihat yang disampaikan oleh Dr. Anas Ahmad Kurzun, diangkat dari risalah beliau Warattilil Qur’ana Tartila yakni menyangkut metode, sebagai bekal dalam meraih kemampuan untuk dapat menghafal Al-Qur`ân secara baik.

Karena, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah : Bahwasanya dahulu, para salaf mewasiatkan agar betul-betul memperbagus dan memperbaiki amalan (membaca dan menghafal Al-Qur`ân, Red.) Bukan hanya sekedar memperbanyak (membaca dan menghafalnya, Red.) karena amalan yang sedikit disertai dengan memperbagus dan memantapkannya, itu lebih utama daripada amalan yang banyak tanpa disertai dengan pemantapan. Lihat Risalah Syarah Hadits Syadad bin Aus, karya Ibnu Rajab, hlm. 35.

Mudah-mudahan dengan kedatangan bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini, dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan perhatian kita kepada Al-Qur`ân, mempelajarinya, mentadabburi, memperbaiki bacaan, dan menghafalnya. (Redaksi).

SATU : IKHLAS, KUNCI ILMU DAN PEMAHAMAN
Jadikanlah niat dan tujuan menghafal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan selalu ingat bahwasanya yang sedang Anda baca ialah Kalamullah. Berhati-hatilah Anda dengan faktor yang menjadi pendorong dalam menghafal, untuk meraih kedudukan di tengah-tengah manusia, ataukah ingin memperoleh sebagian dari keuntungan dunia, upah dan hadiah? Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima sedikitpun dari amalan melainkan apabila ikhlas karena-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan (menjalankan) agama dengan lurus”. [al-Bayyinah/98:5]

DUA : MENJAUHI MAKSIAT DAN DOSA
Hati yang penuh dengan kemaksiatan dan sibuk dengan dunia, tidak ada baginya tempat cahaya al-Qur’ân. Maksiat merupakan penghalang dalam menghafal, mengulang dan mentadabburi Al-Qur`ân. Adapun godaan-godaan setan dapat memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Setan telah mengusai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah”. [al-Mujadilah/58:19].

‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar.[1]

Ketahuilah, Imam asy-Syafi’i yang terkenal dengan kecepatannya menghafal, pada suatu hari ia mengadu kepada gurunya, Waqi`, bahwa hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata. Maka gurunya memberikan terapi mujarab, agar ia meninggalkan maksiat dan mengosongkan hati dari segala hal yang dapat memalingkannya dari Rabb.

Imam asy-Syafi’i berkata:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يؤتى لعاصى”
شَكَوْتُ إِلىَ وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ # فَأَرْشَدَنِيْ إِلىَ تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْــبَرَنِيْ بِأَنَّ الْعِلْـمَ نُوْرٌ # وَنُوْرُ اللهِ لَا يُـؤْتىَ لِعَاصِى

Saya mengadu kepada Waqi’ buruknya hafalanku,
maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat.
Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya,
dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat.

Imam Ibnu Munada berkata,”Sesungguhnya menghafal memiliki beberapa sebab. Di antaranya, yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela. Hal itu dapat terwujud, apabila seseorang mencegah diri (dari keburukan, Pent.), menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ridha, memasang telinganya, dan pikirannya bersih dari ar-râin.” [2]

Yang dimaksud dengan ar-râ`in, ialah sesuatu yang menutupi hati dari keburukan maksiat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”. [al-Muthaffifin/83:14].

Barang siapa menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan hatinya untuk selalu mengingat-Nya, mencurahkan hidayah kepadanya dalam memahami ayat-ayat-Nya, memudahkan baginya menghafal dan mempelajari Al-Qur`ân, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. [al-’Ankabût/29:69].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah membawakan perkataan Ibnu Abi Hatim berkaitan dengan makna ayat ini: “Orang yang melaksanakan apa-apa yang ia ketahui, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya petunjuk terhadap apa yang tidak ia ketahui”.[3]

TIGA : MEMANFAATKAN MASA KANAK-KANAK DAN MASA MUDA
Saat masih kecil, hati lebih fokus karena sedikit kesibukannya. Dikisahkan dari al-Ahnaf bin Qais, bahwasanya ia mendengar seseorang berkata:

اَلتَّعَلُّمُ فِيْ الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ عَلَى الْحَجَرِ ,
فَقَالَ الْأَحْنَفُ : اَلْكَبِيْرُ أَكْثَرُ عَقْلًا لَكِنَّهُ أَشْغَلُ قَلْبًا.

“Belajar pada waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu”.

Maka al-Ahnaf berkata,”Orang dewasa lebih banyak akalnya, tetapi lebih sibuk hatinya.”

Seharusnya siapa pun yang telah berlalu masa mudanya supaya tidak menyia-nyiakan waktu untuk menghafal. Jika ia konsentrasikan hatinya dari kesibukan dan kegundahan, niscaya ia akan mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur`ân, yang tidak dia dapatkan pada selain Al-Qur`ân.
Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`ân untuk pelajaran, maka adakah yang mau mengambil pelajaran?”. [al-Qomar/54:17].

Demikianlah di antara keistimewaan Al-Qur`ân.

Perlu Anda ketahui, tatkala manusia telah mencapai usia tua, saraf penglihatannya akan melemah. Kadangkala dia tidak mampu membaca Al-Qur`ân yang ada di mushaf. Dengan demikian, yang pernah dihafal dalam hatinya, akan dia dapatkan sebagai perbendaharaan yang besar. Dengannya ia membaca dan bertahajjud. Tetapi jika sebelumnya ia tidak pernah menghafal Al-Qur`ân sedikitpun, maka alangkah besar penyesalannya.

EMPAT : MEMANFAATKAN WAKTU SEMANGAT DAN KETIKA LUANG
Tidak sepantasnya bagi Anda, wahai pembaca, menghafal pada saat jenuh, lelah, atau ketika pikiran Anda sedang sibuk dalam urusan tertentu. Karena hal itu dapat mengganggu kosentrasi menghafal. Tetapi pilihlah ketika semangat dan pikiran tenang. Alangkah bagus, jika waktu menghafal (dilakukan) ba’da shalat Subuh. Saat itu merupakan sebaik-baik waktu bagi orang yang tidur segera.

LIMA : MEMILIH TEMPAT YANG TENANG
Yaitu dengan menjauhi tempat-tempat ramai, bising. Sebab, hal itu akan mengganggu dan membuat pikiran bercabang-cabang. Maka ketika Anda sedang berada di rumah bersama anak-anak, atau (sedang) di kantor, di tempat bekerja, di tengah teman-teman, jangan mencoba-coba menghafal sedangkan suara manusia di sekitar Anda. Atau di tengah jalan ketika sedang mengemudi, di tempat dagangan ketika transaksi jual beli. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya …” [al-Ahzab/33:4].

Sebaik-baik tempat yang Anda pilih untuk menghafal ialah rumah-rumah Allah (masjid) agar mendapatkan pahala berlipat ganda. Atau di tempat lain yang tenang, tidak membuat pendengaran dan penglihatan Anda sibuk dengan yang ada di sekitar Anda.

ENAM : KEMAUAN DAN TEKAD YANG BENAR
Kemauan yang kuat lagi benar sangat memengaruhi dalam menguatkan hafalan, memudahkannya, dan dalam berkosentrasi. Adapun seseorang yang menghafal karena permintaan orang tua atau gurunya tanpa didorong oleh kemauannya sendiri, ia tidak akan mampu bertahan. Suatu saat pasti akan tertimpa penyakit futur (sindrom).

Keinginan bisa terus bertambah dengan motivasi, menjelaskan pahala dan kedudukan para penghafal Al-Qur`ân, orang yang selalu bersama Al-Qur`ân, dan membersihkan jiwa yang berlomba dalam halaqah, di rumah atau di sekolah. Tekad yang benar akan menghancurkan godaan-godaan setan, dan dapat menahan jiwa yang selalu memerintahkan keburukan.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

مَنْ صَدَقَ الْعَزِيْمَةَ يَئِسَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ, وَمَتَى كَانَ الْعَبْدُ مُتَرَدِّدًا طَمَعَ فِيْهِ الشَّيْطَانُ وَسَوَّفَهُ وَمَنَّاهُ

“Barang siapa memiliki tekad yang benar, setan pasti akan putus asa (mengganggunya). Kapan saja seorang hamba itu ragu-ragu, setan akan mengganggu dan menundanya untuk melaksanakan amalan, serta akan melemahkannya”.[5]

TUJUH : MENGGUNAKAN PANCA INDRA
Kemampuan dan kesanggupan seseorang dalam menghafal berbeda-beda. Begitu juga kekuatan hafalan seseorang dengan yang lainnya bertingkat-tingkat. Akan tetapi, memanfaatkan beberapa panca indra dapat memudahkan urusan dan menguatkan hafalan dalam ingatan.

Bersungguh-sungguhlah, wahai Pembaca, gunakanlah indra penglihatan, pendengaran dan ucapan dalam menghafal. Karena masing-masing indra tersebut memiliki metode tersendiri yang dapat mengantarkan hafalan ke otak. Apabila metode yang digunakan itu banyak, maka hafalan menjadi semakin kuat dan kokoh.

Adapun caranya, yaitu Anda mulai terlebih dahulu membacanya dengan suara keras, apa yang hendak dihafalkan, sedangkan Anda melihat ke halaman yang sedang Anda baca. Dengan terus melihat dan mengulanginya sampai halaman tersebut terekam dalam memori Anda. Sertakan pendengaran Anda dalam mendengarkan bacaan, lalu merasa senang. Apalagi jika Anda membaca dengan suara senandung yang disukai oleh jiwa.

Seseorang yang menghafal Al-Qur`ân dengan melihat mushaf, sedangkan ia diam, atau dengan cara mendengarkan kaset murottal tanpa melihat mushaf, atau merasa cukup ketika menghafal hanya membaca dengan suara lirih, maka semua metode ini tidak mengantarnya mencapai tujuan dengan mudah.

Perlu Anda ketahui, bahwasanya (dalam menghafal) manusia ada dua macam.
1. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara mendengar daripada menghafal dengan melihat mushaf. Ingatannya ini disebut Sam’iyyah (pendengaran).
2. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara melihat. Apabila ia membaca satu penggal ayat Al-Qur`ân (akan) lebih bisa menghafal daripada (hanya dengan) mendengarkannya. Ingatannya ini disebut Bashariyyah (penglihatan).

Apabila Anda termasuk di antara mereka, maka sebelum menghafal, perbanyaklah membaca ayat dengan melihat mushaf dalam waktu yang lebih lama. Kemudian tutuplah mushaf dan tulis ayat-ayat yang baru saja Anda hafal dengan tangan. Setelah itu cocokkan yang Anda tulis dengan mushaf, agar Anda mengetahui mana yang salah, dan tempat-tempat hafalan yang lemah, sehingga Anda dapat mengulangi (untuk) memantapkannya.

Jika Anda memperhatikan bahwa Anda selalu salah dalam satu kalimat tertentu atau lupa setiap kali mengulangnya, maka tanamkan kalimat tersebut dalam memori Anda dengan membuat kalimat serupa yang Anda ketahui. Dengan demikian, Anda akan mengingat kalimat tersebut dengan kalimat yang Anda buat.

Imam Ibnu Munada telah menunjukkan kepada kita masalah ini dengan perkataannya: “Seorang guru hendaklah mempraktekkan metode ini kepada murid. Yaitu memerintahkannya agar mengingat nama, atau sesuatu yang dia ketahui yang serupa dengan kalimat al-Qur`ân yang ia selalu lupa, sehingga akan menjadikannya ingat, insya Allah.” [6]

Kemudian beliau berdalil dengan perkataan Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu : “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan agar aku memohon petunjuk dan kebenaran kepada Allah. Lalu aku mengingat kalimatالْهُدَى (petunjuk) dengan ِهِدَايَةُ الطَّرِيْق (petunjuk jalan), dan aku mengingat السَّدَادُ (kebenaran) dengan تَسْدِيْدَاتُ السَّهْم (membetulkan busur)”.[7]

DELAPAN : MEMBATASI HANYA SATU CETAKAN MUSHAF
Bagi para penghafal, utamakan memilih cetakan mushaf, yang diawali pada tiap-tiap halamannya permulaan ayat dan diakhiri dengan akhir ayat. Ini memiliki pengaruh sangat besar dalam menanamkan bentuk halaman dalam memori (ingatan), dan mengembalikan konsentrasi terhadap halaman tersebut ketika mengulang. Jika cetakan mushaf berbeda-beda, akan menimbulkan ingatan halaman dalam otak berbeda-beda, dan akan membuyarkan hafalannya, serta tidak bisa konsentrasi.

Begitu pula saya wasiatkan kepada saudaraku agar bersungguh-sungguh menggunakan mushaf saku, atau mushaf yang terdiri dari beberapa bagian, sesuai dengan cetakan mushaf yang sedang Anda hafal. Ini merupakan hal yang sangat baik. Setiap kali Anda mendapatkan waktu luang dan semangat, dimana pun Anda berada, supaya segera memanfaatkan waktu tersebut untuk menghafal hafalan baru, atau mengulang hafalan lama.

SEMBILAN : PENGUCAPAN YANG BETUL
Setelah Anda memilih waktu, tempat yang sesuai dan membatasi hanya satu cetakan mushaf yang hendak Anda hafal, maka wajib bagi Anda membetulkan pengucapan dan mengoreksi kalimat-kalimat Al-Qur`ân kepada seorang guru yang mutqin (mampu) sebelum mulai menghafal. Atau dengan cara mendengarkannya melalui kaset murattal seorang qari`. Hal ini supaya Anda terjaga dari kekeliruan. Karena apabila kalimat yang telah Anda hafal itu salah, akan sulit bagi Anda membetulkannya setelah terekam dalam memori.

Imam Ibnu Munada berkata,”Ketahuilah, menghafal itu memiliki beberapa sebab. Di antaranya, seseorang membaca kepada orang yang lebih banyak hafalannya, karena orang yang dibacakan kepadanya lebih mengetahui kesalahan daripada orang yang membaca.” [8]

Wahai saudaraku, bersungguh-sungguhlah menghadiri majlis-majlis tahfizhul-Qur`ân, bertatap muka dengan para hafizh dan guru-guru yang mutqin, agar Anda terhindar dari kesalahan dan dapat menghafal dengan landasan yang kokoh.

Saya wasiatkan juga kepada saudaraku para pengajar Al-Qur`ân, di masjid-masjid, di sekolah-sekolah agar bersungguh-sungguh membetulkan bacaan para murid terhadap ayat-ayat yang hendak mereka hafal, dan mengarahkan mereka supaya betul-betul mengoreksi kalimat-kalimat Al-Qur`ân yang sering terjadi padanya kesalahan. Begitu juga seorang guru meminta kepada para muridnya agar selalu mengulang-ulang hafalan kepada sesama teman untuk menjaga mereka dari kemungkinan terjadinya kesalahan.

SEPULUH : HAFALAN YANG SALING BERSAMBUNG
Jangan lupa, wahai saudaraku! Jadikanlah hafalan Anda saling berkaitan. Setiap kali Anda menghafal satu ayat kemudian merasa telah lancar, maka ulangilah membaca ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Kemudian lanjutkan menghafal ayat berikutnya sampai satu halaman dengan menggunakan metode ini.

Disamping itu, apabila Anda telah menghafal satu halaman, maka harus membacanya kembali sebelum meneruskan ke halaman berikutnya. Begitu pula apabila hafalan Anda sudah sempurna satu surat, hendaklah menggunakan metode tadi, agar rangkaian ayat-ayat itu dapat teringat dalam memori Anda. Sungguh, jika tidak menggunakan metode ini, membuat hafalan Anda tidak terikat. Dan ketika menyetor hafalan, Anda akan membutuhkan seorang guru yag selalu mengingatkan permulaan tiap-tiap ayat. Begitu juga akan membuat Anda mengalami kesulitan ketika muraja`ah hafalan.

SEBELAS :MEMAHAMI MAKNA AYAT
Di antara yang dapat membantu Anda menggabungkan ayat dan mudah dalam menghafal, yaitu terus-menerus meruju` kepada kitab-kitab tafsir yang ringkas, sehingga Anda memahami makna ayat meskipun global. Atau paling tidak, Anda menggunakan kitab كَلِمَاتُ الْقُرْآنِ تَفْسِيْرٌ وَبَيَانٌkarya Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf. Dengan mengetahui makna-makna kalimat, dapat membantu Anda memahami makna ayat secara global.

DUA BELAS : HAFALAN YANG MANTAP
Sebagian pemuda membaca penggalan ayat, dua sampai tiga kali saja. Lalu menyangka bahwa ia telah hafal. Lantas pindah ke penggalan ayat berikutnya karena ingin tergesa-gesa disebabkan waktunya sempit, atau karena persaingan di antara temannya, atau disebabkan desakan seorang guru kepadanya. Perbuatan ini, sama sekali tidak benar dan tidak bermanfaat. Sedikit tetapi terus-menerus itu lebih baik, daripada banyak tetapi tidak berkesinambungan. Hafalan yang tergesa-gesa mengakibatkan cepat lupa.

Fakta ini tersebar di kalangan para penghafal. Penyebabnya, kadangkala seseorang merasa puas dan tertipu terhadap dirinya ketika hanya mencukupkan membaca penggalan ayat beberapa kali saja. Apabila ia merasa penggalan ayat tadi sudah masuk dalam ingatannya, maka ia beralih ke ayat berikutnya. Dia menyangka, semacam ini sudah cukup baginya.

Faktor yang mendukung fakta ini, karena sebagian pengampu hafalan mengabaikan persoalan ini ketika penyetoran hafalan. Padahal semestinya, seorang penghafal tidak boleh berhenti menghafal dan mengulang dengan anggapan bahwa ia telah hafal ayat-ayat tersebut. Bahkan ia harus memantapkan hafalannya secara terus-menerus mengulang ayat-ayat yang dihafalnya. Karena setiap kali mengulang kembali, akan lebih memperbagus hafalannya, dan meringankan bebannya ketika muraja`ah.

TIGA BELAS : TERUS MENERUS MEMBACA
Tetaplah terus membaca Al-Qur`ân setiap kali Anda mendapatkan kesempatan. Karena banyak membaca, dapat memudahkan menghafal dan membuat hafalan menjadi bagus. Banyak membaca termasuk metode paling utama dalam muraja`ah.

Cobalah Anda perhatikan, sebagian surat dan ayat yang sering Anda baca dan dengar, maka ketika menghafalnya, Anda tidak perlu bersusah payah. Sehingga apabila seseorang telah sampai hafalannya pada ayat-ayat tersebut, maka dengan mudah ia akan menghafalnya. Contohnya surat al-Wâqi`âh, al-Mulk, akhir surat al-Furqân, apalagi juz ‘amma dan beberapa ayat terakhir dari surat al-Baqarah.

(Dengan sering membaca), dapat dibedakan antara seorang murid (yang satu) dengan murid lainnya. Barang siapa yang memiliki kebiasaan setiap harinya selalu membaca dan memiliki target tertentu yang ia baca, maka menghafal baginya (menjadi) mudah dan ringan. Hal ini dapat dibuktikan dalam banyak keadaan. Ayat mana saja yang ingin dihafal, hampir-hampir sebelumnya seperti sudah dihafal. Akan tetapi yang sedikit membaca dan tidak membuat target tertentu setiap harinya untuk dibaca, ia akan mendapatkan kesulitan yang besar ketika menghafal.

Perlu diketahui, wahai saudaraku! Membaca Al-Qur`ân termasuk ibadah paling utama dan mendekatkan diri kepada Allah. Setiap huruf yang Anda baca mendapatkan satu kebaikan, dan kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Sama halnya dengan banyak membaca surat-surat yang telah dihafal, ia dapat menambah kemantapan hafalan dan tertanamnya dalam memori. Khususnya pada waktu shalat, maka bersungguh-sungguhlah Anda melakukan muraja`ah yang telah dihafal dengan membacanya ketika shalat. Ingatlah, qiyamul-lail (bangun malam) dan ketika shalat tahajjud beberapa raka’at, Anda membaca ayat-ayat yang Anda hafal merupakan pintu paling agung di antara pintu-pintu ketaatan, dan membuat orang lain yang sulit menghafal menjadi iri terhadap apa yang Anda hafal.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membimbing kita kepada metode ini, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih, supaya hafalan Al-Qur`ân kita menjadi kuat melekat, dan selamat dari penyakit lupa.

Dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقَرْآنِ فَقَرَأَهَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ, وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ فَنَسِيَهُ
رَوَاهُ مُسْلِمٌ – بَابُ الْأَمْرِ بِتَعَهُّدِ الْقُرْآنِ – رقم (227)

“Dan apabila shahibil-Qur`ân (penghafal Al-Qur`ân) menghidupkan malamnya, lalu membaca Al-Qur`ân pada malam dan sianganya, niscaya ia akan ingat. Dan apabila dia tidak bangun, maka niscaya dia akan lupa”. [HR Muslim]

EMPAT BELAS : MENGHAFAL SENDIRI SEDIKIT MANFAATNYA
Karena kebiasaan manusia itu menunda-nunda amalan. Setiap kali terlintas dalam pikirannya bahwa ia harus segera menghafal, datang kepadanya kesibukan-kesibukan dan jiwa yang mendorongnya untuk menunda amalan. Akibatnya membuat tekadnya cepat melemah. Adapun menghafal bersama seorang teman atau lebih, mereka akan membuat langkah-langkah tertentu. Masing-masing saling menguatkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga menumbuhkan saling berlomba di antara mereka, serta memberi teguran kepada yang meremehkan. Inilah metode yang dapat mengantarkan kepada tujuan, Insya Allah.

Cobalah perhatikan, betapa banyak pemuda telah menghafal sekian juz di halaqah tahfizhul-Qur’ân di masjid, kemudian mereka disibukkan dari menghadiri halaqah ini. Mereka menyangka akan (mampu) menyempurnakan hafalan sendirian saja, dan tidak membutuhkan halaqah lagi. Tiba-tiba keinginan itu menjadi lemah lalu )ia pun) berhenti menghafal. Yang lebih parah lagi, orang yang seperti mereka kadang-kadang disibukkan oleh berbagai urusan dan pekerjaan. Kemudian mereka tidak mengulang hafalan yang telah dihafalnya. Hari pun berlalu, sedangkan semua hafalan mereka telah lupa. Mereka telah menyia-nyiakan semua yang telah mereka peroleh.

Menghafal sendiri bisa membuka peluang pada diri seseorang terjerumus ke dalam kesalahan saat ia mengucapkan sebagian kalimat. Tanpa ia sadari, kesalahan itu terkadang terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama. Tatkala ia menperdengarkan hafalannya kepada orang lain atau kepada seorang ustadz di halaqah, maka kesalahannya akan nampak.

Oleh karena itu, wahai saudaraku! Pilihlah menghafal bersama mereka apa yang mudah bagi Anda untuk menghafalnya dari Kitabullâh, mengulang hafalan Anda bersama mereka. Ini merupakan sebaik-baik perkumpulan orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

LIMA BELAS : TELITI TERHADAP AYAT-AYAT MUTASYABIHAT
Sangat penting untuk memperhatikan ayat-ayat mutasyabih (serupa) di sebagian lafazh-lafazhnya, dan membandingkan ayat-ayat mutasyabih itu di tempat-tempat (lainnya). Ketika Anda menghafalnya, alangkah baik jika ayat-ayat mutasyabih itu disalin di buku yang khusus. Supaya letak ayat-ayat mutasyabih itu dapat Anda ingat ketika mengulangi membacanya.

Dapat dilihat pada sebagian penghafal yang tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih yang satu dengan lainnya. Sehingga mereka terjatuh dalam kesalahan ketika menyetor hafalan, disebabkan tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih itu. Dalam hal ini, suatu ayat tertentu membuat mereka menjadi ragu dikarenakan menyerupai dengan ayat pada surat lain. Ketika membaca ayat-ayat tersebut, ternyata berpindah ke surat berikutnya tanpa mereka sadari. Bisa jadi ketika menyetor hafalan, kadangkala berpindah ke ayat mutasyabih yang ketiga atau keempat apabila ayat mutasyabih itu ada di beberapa tempat. Oleh karena itu, metode yang paling baik agar hafalan menjadi mantap, yaitu memusatkan perhatian terhadap ayat-ayat yang sama antara satu dengan lainnya. Curahkan kesungguhan dan fokuskan diri Anda dalam mencermatinya.

Para ulama telah menyusun berbagai kitab dalam masalah ini. Di antara kitab yang paling bagus. ialah kitab مُتَشَابِهُ الْقُرْآنِ الْعَظِيْم karya Imam Abi al-Hasan bin al-Munada wafat pada tahun 366 H, dan kitab أَسْرَارُ التِّكْرَارِ فِيْ الْقُرْآنِ karya seorang qari` handal, Muhammad bin Hamzah al-Karmani, seorang ulama abad kelima Hijriyah. Sebagian ulama juga menyusun Mandzumah Syi’riyyah (susunan bait-bait sya’ir) dalam masalah ini, untuk memudahkan para penuntut ilmu menghafalnya. Di antaranya, kitab نُظْمُ مُتَشَابِهِ الْقُرْآنِ karya Syaikh Muhammad at-Tisyiti, (ia) termasuk ulama abad kesebelas Hijriyah.

Imam Ibnu Munada dalam menjelaskan pentingnya mengetahui letak (tempat-tempat) ayat-ayat Al-Qur`ân yang mutasyabih, (beliau) berkata: “Mengetahui tempat-tempat ayat-ayat mutasyabih, sesungguhnya dapat membantu menambah kekuatan hafalan seseorang, dan melatih orang yang masih menghafal. Sebagian ahli qiraat telah membukukan hal ini, lalu menyebutnya dengan al-mutasyabih, penolak dari buruknya hafalan”.[9]

Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah, wahai saudaraku dengan wasiat dan bimbingan ini. Segeralah menghafal Kitabullâh, merenungi ayat-ayatnya, dan berpegang teguh dengan petunjuknya, sebab Kitabullâh merupakan cahaya yang nyata dan jalan yang lurus.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. [al-Mâidah/5:15-16].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147.
[2]. Mutasyabihul- Qur`ânul-‘Azhim, karya Imam Ibnu Munada, hlm. 25.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (3/432).
[4]. Adabud-Dunya wad-Dîn, karya Mawardi, hlm. 57.
[5]. Risalah Syarah Hadits Syadad bin Aus, karya Imam Ibnu Rajab, hlm. 37.
[6]. Mutasyabihul- Qur`ânul-Azhim, karya Ibnu Munada, hlm. 56, secara ringkas.
[7]. Mutasyabihul- Qur`ânul-Azhim, hlm. 55, dan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shahîhnya, no. 2725.
[8]. Mutasyabihul- Qur`ânul-Azhim, hlm. 25.
[9]. Mutasyabihul-Qur`ânul-Azhim, hlm. 59, secara ringkas.



Sumber: https://almanhaj.or.id/2852-berbenah-diri-untuk-penghafal-al-quran.html

Selasa, 04 April 2017

KAIDAH-KAIDAH MENUNTUT ILMU



KAIDAH-KAIDAH MENUNTUT ILMU

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah-

Pembaca,
Untuk memahami ilmu secara benar, seorang thalibul-‘ilmi dituntut untuk berusaha dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Begitu pula dengan keluasan ilmu yang tidak mungkin diraih secara menyeluruh dalam satu waktu, maka untuk meraihnya pun memerlukan tahapan-tahapan dan langkah demi langkah, dari persoalan-persoalan ringan hingga ilmu-ilmu yang memerlukan analisa secara lebih terperinci dan mendalam. Disinilah ia harus menunjukkan kesungguhannya, sehingga pemahamannya terhadap setiap ilmu yang direngkuhnya tidak menyisakan kesamaran. Dan manakala harus menyampaikannya pun tidak akan menimbulkan kesesatan.

Demikian sebagian pesan yang bisa kita ambil dari Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah- saat menyampaikan ceramah pada Daurah Syar’iyyah, di Agro Wisata Kebun Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa Timur yang diadakan antara tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan 22 – 29 Juli 2007M. Saat ini, Syaikh juga aktif sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam, Madinah, Kerajaan Saudi Arabia. Adapun ceramah beliau ini diterjemahkan dan dengan pemberian judul serta catatan kaki oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari. Semoga kita mendapatkan faidah (manfaatnya). (Redaksi).
_____________________________________

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya, dan kami bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami, dan dari keburukan amalan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang akan menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan, maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi kita adalah hamba Allah dan utusan-Nya.

Mudah-mudahan Engkau, wahai Allah, memberikan shalawat kepada hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya dan meneladani jejaknya sampai hari Pembalasan.

Amma ba’du:
Sesungguhnya keistiqamahan seorang muslim di atas agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan dua pondasi yang besar. Pondasi Pertama : Yaitu mengenal agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla. Pondasi Kedua : Yaitu melaksanakan ilmu yang telah ia ketahui dan melaksanakan agama Allah Azza wa Jalla berdasarkan apa yang telah ia ketahui dan telah jelas dari agama-Nya. Pondasi pertama berkaitan dengan ilmu. Pondasi kedua berkaitan dengan amal. Dengan ilmu dan amal akan didapatkan keselamatan.

Dan manusia berbeda-beda dalam mewujudkan ilmu dan amal. Mereka terbagi menjadi empat bagian. Sedangkan menurut Syaikhul-Islam terbagi menjadi dua. Akan tetapi, sesuai dengan tabiatnya, maka sesungguhnya kedudukan manusia terbagi menjadi empat, sesuaidengan keadaan mereka.

1. Di antara manusia ada yang diberi taufik oleh Allah dengan ilmu yang shahîh dan amal shalih. Ini merupakan martabat yang paling utama dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.

2. Martabat kedua, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tanpa amal. Tidak ada keraguan, hal ini merupakan kekurangan, karena ilmu merupakan pijakan amal. Oleh karena itu, seseorang yang belajar namun tidak beramal, berarti pada diri orang itu terdapat keserupaan dengan Yahudi. Mereka ini berilmu, namun tanpa amal.

3. Martabat ketiga, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Pada diri orang ini terdapat keserupaan dengan Nashara. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Mereka beramal, namun tanpa ilmu. Demikian ini keadaan ahli bid’ah. Yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah dan beramal, namun dalam ibadahnya tanpa mempergunakan ilmu.

4. Martabat keempat, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu dan amal. Para ulama menyebut mereka adalah manusia yang menyerupai binatang ternak. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali bersenang-senang dengan dunia, tidak memiliki cita-cita dalam ilmu dan amal. Sedangkan orang yang diberi taufiq ialah yang diberi taufiq oleh Allah terhadap ilmu yang shahîh dan amal shalih.

Adapun ilmu itu sendiri menuntut beberapa perkara. Ilmu tidak akan terwujud kecuali dengan konsekwensinya. Ilmu itu hanyalah dengan belajar, mengerahkan kesungguhan dan kemampuan untuk mendapatkannya. Dan caranya, seorang thalibul-‘ilmi mengerahkan kemampuannya dalam tafaqquh fid-dîn, dalam menggalinya, dan saat duduk di hadapan ulama, dalam membaca kitab-kitab dan meminta penjelasan perkara yang menyusahkannya, sampai Allah memberikan kepadanya rezeki berupa ilmu. Seorang thalibul-‘ilmu harus mengikuti manhaj yang shahîh dalam mengambil dan menuntut ilmu.

Di antara manhaj (jalan, kaidah) dalam menuntut ilmu, hendaklah memulai dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat. Oleh karena itulah dikatakan tentang seorang ‘alim rabbani, bahwa dia adalah orang yang membina para penuntut ilmu kecil dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. Demikianlah, menuntut ilmu itu harus tadarruj (bertahap).

Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu yang ringan ialah masalah-masalah yang dikenal, yang diketahui, bukan masalah-masalah yang membutuhkan analisa dan pembahasan. Dari sini, maka di antara masalah-masalah yang sepantasnya didahulukan ialah masalah-masalah yang jelas dan gamblang, yaitu mengenai ushuludin (pokok-pokok agama), seperti mengetahui ushuludin, ushul i’tiqad. Oleh karena itu, para ulama dalam mengajari para thulab (penuntut ilmu, santri) dilakukan secara bertahap dengan menggunakan mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas), dalam setiap cabang-cabang ilmu. Mereka menjelaskan kepada manusia pokok-pokok ilmu melalui mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas) ini. Secara bertahap, mulai dari teks-teks mukhtasharat sampai kemudian meningkat, dengan membaca kitab-kitab syarh (penjelasan) terhadapnya, kemudian meluas sehingga para thalib sampai kepada kitab-kitab muthawalat (kitab-kitab tebal/luas) dan menumbuhkan nazhar (penelitian) serta ijtihad dalam masalah-masalah ini, sehingga mencapai derajat ulama dengan taufiq Allah. Demikianlah, bahwasanya dalam thalibul-‘ilmi harus dengan tadarruj (bertahap).

Termasuk perkara yang penting sebelum menuntut ilmu, ialah ikhlas untuk Allah Azza wa Jalla dalam mencari ilmu. Karena sesungguhnya ikhlas memiliki pengaruh yang besar untuk meraih taufiq (bimbingan Allah) dalam segala sesuatu. Barangsiapa mendapatkan taufiq dengan ikhlas, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak dalam segala urusan agama dan dunia. Pengaruh ikhlas terhadap taufiq (bimbingan Allah) ditunjukkan oleh firman Allah mengenai dua hakim di antara suami istri:

وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

“… Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu … ” [an-Nisâ`/4:35].

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pengaruh hati berkaitan dengan keistiqamahan anggota badan dalam hadits Nu`man bin Basyir:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”.[1]

Jika hati itu baik, amal juga baik, dan manusia mendapatkan manfaat dengan ilmunya. Dengan demikian, seseorang diberi taufiq disebabkan oleh ilmu dan pemahamannya. Oleh karena itu, perkara ini harus diperhatikan.

Termasuk ikhlas dalam thalabul-‘ilmi, yaitu menuntut ilmu untuk tafaqquh (memahami), dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, Malik bin Dinar rahimahullah berkata: ”Barangsiapa menuntut ilmu untuk dirinya, maka ilmu yang sedikit mencukupinya. Dan barangsiapa menuntut ilmu untuk keperluan manusia (orang lain), maka sesungguhnya kebutuhan orang lain itu tidak berujung”.

Seseorang lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya. Engkau membutuhkan untuk mengetahui thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan ibadahmu kepada Allah Azza wa Jalla. Maka, hendaklah engkau bertafaqquh (memahami) ilmu yang membuahkan amalan. Dan amalan itu ada yang wajib dan ada yang mustahab. Sehingga seseorang hendaklah memulai dengan ilmu yang wajib baginya secara individu. Kemudian secara bertahap mempelajari yang mustahab (sunah, disukai). Oleh karena itu wajib ikhlas dalam thalabul-‘ilmi.

Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga oleh penuntut ilmu, yaitu isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla, tawakkal kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberikan kepadanya ilmu yang shahih (benar) yang nafi` (bermanfaat). Hal ini dituntunkan oleh Allah dalam firman-Nya:

رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. [Thâhâ/20:114].

Allah berfirman (di dalam hadis qudsi):

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

“Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepadamu”.[2]

Maka, meminta hidayah kepada Allah, niscaya Allah Azza wa Jalla akan memberikan hidayah, sebagaimana hadits di atas.

Dan, dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki, yang dibimbing Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju pintu-pintu kebaikan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar ia berdoa:

أَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي

“Wahai, Allah! Berilahkan petunjuk kepadaku terhadap kelurusanku, dan jagalah aku dari keburukan jiwaku”.

Jadi, manusia tidak akan mendapatkan taufiq kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Juga sebuah doa lain dalam atsar (riwayat):

أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَااتِّبَاعَهُ وَ أَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

“Wahai, Allah! Tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq, dan berilah rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah al-batil kepada kami sebagai al-batil, dan berilah rezeki kepada kami untuk menjauhinya”.

Dengan demikian, pertama kali yang dibutuhkan manusia ialah agar ditunjukkan kepada al-haq oleh Allah sebagai al-haq, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk mengikutinya; dan ditunjukkan al-batil oleh Allah sebagai al-batil, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk menjauhinya. Jika tidak, maka banyak di antara manusia yang mengamalkan kebatilan, dan menyangkanya berada di atas kebenaran. Sehingga wajib memperhatikan sisi ini, yaitu tawakal kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberi taufik terhadap al-haq, memahamkannya dalam agama, dan agar mengajarinya. Demikian pula perlu banyak beristighfar dan selalu berlindung kepada Allah Azza wa Jalla.

Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah kesusahan memahami suatu masalah. Beliau berkata,”Lalu aku beristighfar kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Aku selalu melakukannya, sehingga Allah membukakan masalah itu untukku”.

Demikianlah sepantasnya seorang penuntut ilmu. Akan tetapi, sebagian manusia hanya bersandar kepada usaha dan kekuatannya. Dia melupakan tawakkal dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dalam semua perkara, manusia membutuhkan tawakkal dan usaha. Menghadiri majlis ulama dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, termasuk melakukan usaha. Dan manusia juga membutuhkan tawakkal. Berapa banyak manusia duduk di depan ulama, namun tidak mendapatkan manfa’at. Berapa banyak manusia membaca muthawalat (kitab-kitab tebal), namun tidak mendapatkan manfa’at. Dan berapa banyak manusia hafal Al-Qur`ân, namun mereka tidak mendapatkan manfa’at sedikitpun darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Khawarij:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“Mereka membaca Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân itu tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang buruan”.[3]

Sebagian manusia diberi kecerdasan, namun ia tidak diberi taufiq. Syaikhul-Islam rahimahullah berkata tentang para filosof: “Mereka diberi kecerdasan, namun tidak diberi kesucian”. Maksudnya, Allah memberikan kepada mereka kecerdasan dan akal, namun mereka tidak diberi taufiq untuk mensucikan jiwa mereka.

Oleh karena itu, jika manusia itu diberi kecerdasan oleh Allah, hendaklah dia memohon kepada Allah agar Allah Azza wa Jalla mensucikannya, karena kecerdasan saja tidaklah cukup.

Dahulu, Abu Jahal digelari dengan Abul-Hakam karena faktor akalnya, yaitu kecerdasan akalnya. Tetapi ia tidak mengikuti petunjuk agama ini, padahal orang yang akalnya lebih rendah darinya mengikuti petunjuk agama ini.

‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul, dahulu termasuk orang yang paling cerdas, sehingga sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penduduk Madinah berniat mengangkatnya sebagai raja. Akan tetapi, ia tidak mengikuti petunjuk agama ini.

Manusia itu lemah, kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akal tidaklah cukup, kecerdasan tidaklah cukup, maka hendaklah engkau memohon kepada Alah Azza wa Jalla agar diberi taufiq. Bahkan terkadang kecerdasan merupakan sebab kesesatan seseorang. Dia hanya bersandar kepada akalnya, kecerdasannya dan pemahamannya. Dia menyangka bahwa dirinya memahami, sedangkan orang lain tidak memahami. Lalu ia berbuat lancang, dan berlaku sombong dengan akalnya.

Manusia (yang berakal, Pent.) jika diberi akal dan kecerdasan oleh Allah Azza wa Jalla, ia mengetahui bahwa tidak ada jalan untuk meraih hidayah kecuali dengan syariat ini. Oleh karena itulah, orang-orang yang beragama adalah orang-orang yang berakal. Tidak ada seorang ‘alim kecuali mengetahui bahwasanya tidak ada hidayah kecuali dengan agama ini. Sehingga, jika ada orang yang menyangka bahwa ia boleh keluar dari agama ini, dan bahwa menyangka akalnya mencukupi untuk mendapatkan hidayah, maka ini sebagai bukti kurangnya hidayah akal dan ilmunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan untuk disucikan oleh Allah Azza wa Jalla.

Termasuk yang perlu diperhatikan juga, yaitu mengetahui jalan yang benar dalam menuntut ilmu. Pembicaraan masalah ini sangat panjang. Telah dijelaskan dalam ceramah (saya) di Universitas Islam Madinah tentang jalan para ulama dalam mempelajari akidah, dan persiapan materi ceramah ini lebih dari seminggu. Dan Allah memberikan nikmat yang banyak dengan sebab ini, dengan membaca perkataan para ulama, jalan mereka mendapatkan ilmu, dan metode memahami nash-nash.

Ceramah ini direkam dan mungkin bisa didapatkan dari sebagian mahasiswa yang telah merekamnya. Dalam ceramah itu, terdapat banyak sisi penting yang sepantasnya diperhatikan dalam mempelajari ilmu dan meneliti suatu masalah, terutama dalam permasalahan akidah. Di antaranya, ialah dalam menetapkan lafazh-lafazh syar’iyyah, dan mengetahui perbedaan antara makna lughawi (menurut bahasa Arab) dengan makna syar’i (menurut agama).

Sesungguhnya kesalahan yang terjadi pada sebagian orang bukan karena ketiadaan dalil. Terkadang ada dalil di hadapannya, dan terkadang telah mengetahuinya, tetapi mereka tidak diberi taufiq dalam memahaminya, yang kemungkinan karena lafazh itu musykil pada mereka. Kesamaran lafazh termasuk di antara yang menjadi penyebab kesalahan pada diri ulama. Seperti kesamaran lafazh al-quru`, apakah itu haidh ataukah suci dari haidh? Begitulah pula dalam lafazh al-muzâbanah, al-muhâqalah, al-mukhâbarah, dan semacamnya sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam dalam kitab Raf’ul Malam ‘an Aimmatil-A’lam.

Manusia terkadang berselisih disebabkan kesamaran lafazh pada mukhathab (orang yang diajak bicara). Sebagaimana yang terjadi pada sahabat ‘Adi bin Hatim, yaitu ketika turun firman Allah Azza wa Jalla :

حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“..hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. [al-Baqarah/2:187]

Diapun mengambil dua benang (putih dan hitam) dan ditaruhnya di bawah bantalnya. Mulailah ia melihat kedua benang itu. Ketika ia memberitakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: ”Engkau benar-benar orang yang lebar tengkuknya. Sesungguhnya yang dimaksud warna putih fajar, dan warna hitam ialah malam”.

Di sini terjadi kesamaran pada sahabat yang agung ini.

Begitu pula kesamaran yang terjadi pada ulama terhadap lafazh mulâmasah dalam firman Allah:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

(Atau kamu menyentuh perempuan).[4]

Apakah yang dimaksud dengan mulâmasah adalah semata-mata menyentuh wanita, ataukah kiasan dari jima’?

Demikianlah pada banyak lafazh dalam syara’ (agama) yang diperselisihkan para ulama. Oleh karena itulah ulama menjelaskan tentang pengetahuan makna-makna lafazh syar’iyyah (menurut agama) dan membedakannya dengan makna lughawi (menurut bahasa arab). Demikian juga banyak kitab-kitab disusun dalam pembahasan gharibul-hadits dan gharibul-Qur`ân.[5]

Dalam menafsirkan Al-Qur`ân, para ulama tidak mencukupkan dengan mengetahui makna lughawi (bahasa) saja. Bahkan Imam ath-Thabari rahimahullah -seorang pakar ahli tafsir- menyebutkan, sebagian ahli tafsir telah salah dalam menafsirkan Al-Qur`ân, dikarenakan mereka bersandar kepada arti bahasa, tanpa mengetahui istilah syariat. Maka seharusnya seseorang mengetahui perkataan para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Seseorang tidaklah cukup mengambil buku kamus bahasa Arab, lalu melihat makna secara bahasa, kemudian menafsirkan kitab Allah dengan makna ini saja. Karena satu lafazh itu berbeda-beda artinya.

Misalnya, kata khair. Dalam kitab Allah Azza wa Jalla, khair memiliki makna hasanah (kebaikan). Juga bermakna dunia. Dimaksudkan juga dengan pahala di sisi Allah. Bagaimana engkau mengetahui makna kalimat ini?

Misalnya lagi kata kufur. Di dalam kitab Allah, kufur mengandung maksud kufur akbar dan kufur ashghar. Demikian juga kezhaliman dan syirk. Begitu pula kata iradah (kehendak Allah), terkadang dimaksudkan dengan iradah kauniyah dan terkadang iradah syar’iyyah. Demikian juga qadha` dan kitabah. Maka untuk memahaminya harus mengetahui perkataan para ulama dalam menafsirkan nash-nash dan lainnya. Di antara yang membantu perihal ini ialah bersandar kepada perkataan ulama.

Walaupun ayat itu jelas dan gamblang bagimu, tetapi janganlah engkau mengatakannya jelas, sebelum memperhatikan penjelasan para ahli tafsir. Bagaimana penafsiran oleh ath-Thabari, oleh al-Baghawi, oleh Ibnu Katsir, oleh Ibnu Taimiyyah. Perkataan para ulama yang mendalam ilmunya, yang telah memahami masalah-masalah ini dengan baik. Hendaklah seseorang mengambil manfaat dengan perkataan para ulama. Kemudian, setelah itu tidaklah membahayakan dirinya, yang telah jelas baginya bahwa itu adalah haq. Adapun jika usaha seseorang dalam memahami nash-nash tanpa berpedoman dengan penjelasan ulama, maka ini merupakan kesalahan. Demikian juga untuk memahami kitab-kitab Sunnah, untuk mengetahui makna-maknanya perlu meruju` kitab-kitab gharibul-hadits (kata-kata asing dalam hadits,-red).

Demikian juga, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya mengetahui makna mufradat (kata-kata) saja. Karena mufradat terkadang berada dalam satu siyaq (rangkaian kalimat) dengan suatu makna, dan dalam siyaq lainnya memiliki makna yang lain.

Demikian juga nafyi (peniadaan) dan itsbat (penetapan), terkadang dimaksudkan sesuatu tertentu. Misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah berzina seseorang yang sedang berzina sedangkan dia mukmin”. [6]

Apakah yang dimaksud dengan nafyi (peniadaan iman) dalam hadits ini?

Maksud seorang pezina bukan mukmin, adalah bahwa seorang pezina bukanlah seorang mukmin yang sempurna imannya. Bagaimana kita mengetahuinya? Karena dalam nash-nash yang lain terdapat penjelasan tentang keberadaan iman bagi pelaku maksiat.

Sehingga kita mengetahui, maksud peniadaan di sini ialah peniadaan kesempurnaan (iman) yang wajib, bukan yang pokok. Jadi, penetapannya ialah untuk yang pokok, dan bukan untuk kesempurnaan.

Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui makna yang terkandung di dalam siyaq (rangkaian kalimat), dan penunjukan makna siyaq terhadap masalah ini. Karena sebagian nash diketahui dengan makna-makna syar’iyyah. Dan (untuk memahami) sebagian nash, Anda membutuhkan pengetahuan makna nash ini dengan melihat makna nash-nash lainnya yang menjadi penjelas.

Contohnya, orang yang memperhatikan firman Allah:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya.” [an-Nisa`/4:93].

Orang yang memandang nash ini akan mengatakan bahwa pembunuh ini kekal di dalam neraka. Akan tetapi, jika dia melihat nash lainnya, maka ia akan mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan firman Allah Aza wa Jalla:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا

“(Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang) -al-Hujurat/49 ayat 9. Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan iman dengan adanya peperangan.

Allah juga berfirman

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

“Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)”. [al-Baqarah/2:178].

Di dalam ayat ini Allah menjadikan wali qishash saudara (seiman/seagama, Pent.) bagi pembunuh. Maka kita mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan itu.

Jika kita memperhatikan dengan teliti nash ini:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا

“(Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya…)” -Qs an-Nisa`/4 ayat 93- bahwa ayat ini dirangkaikan dengan penyebutan balasan. Sedangkan balasan, terkadang terjadi dan terkadang tidak.

Berdasrkan pemahaman ini, semua nash-nash diatas bisa dipertemukan di atas kebenaran, yaitu dalam masalah hukum Allah dan keadilan-Nya; barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam. Tetapi Allah Azza wa Jalla -dengan rahmat dan karunia-Nya- telah menetapkan bahwa barang siapa bertemu Allah dengan tauhid dan terbebas dari perbuatan syirik, ia tidak akan kekal di dalam neraka, walaupun Allah menyiksanya terhadap sebagian dosa-dosanya. Maka kita mengetahui bahwa seorang pembunuh walaupun mendapatkan siksa, tetapi sesungguhnya dia tidak akan kekal di dalam neraka.

Dari sini, maka sesatlah orang yang memahami masalah ini tanpa berdasarkan yang semestinya, yaitu Sunnah. Sehingga muncullah Khawarij dan Mu’tazilah disebabkan buruknya pemahaman mereka terhadap nash-nash ini [7]. Demikian juga Murji’ah telah menyimpang dalam masalah ini [8]. Dan Allah memberi petunjuk kepada Ahlus-Sunah untuk mengetahui nash-nash ini dengan memperhatikan nash-nash lainnya. Sesungguhnya ilmu itu saling melengkapi, saling berkaitan, dan saling menunjukkan. Seperti yang Anda lihat sekarang, seseorang hanya melihatnya dari satu sisi. Dia menghukumi secara umum dan menyalahkan orang lain yang berbicara tentangnya. Dia tidak memperhatikan bahwa masalah ini terbagi dalam beberapa bagian, dan dalam masalah ini terdapat perincian.

Seperti yang kita dengar dari sebuah pertanyaan, bahwa penuntut ilmu tidak mengambil ilmu dari mubtadi.

Perkataan ini benar merupakan perkataan ulama, tetapi dalam keadan yang bagaimana? Yaitu dalam keadaan manakala ada kemudahan. Adapun dalam keadaan darurat dan sangat mendesak, sedangkan di tempat itu tidak ada yang mengajarkan ilmu ini, maka tidak dilarang mengambil ilmu dari orang yang menyimpang, jika ia ahli dalam bidang ilmu dimaksud.

Orang yang tidak memperhatikan bagian-bagian dan perincian-perincian ini akan terjatuh dalam kesalahan. Oleh karena itu, (untuk mendapatkan kebenaran) harus memperhatikan lafazh-lafazh (syari’at) dan siyaq (rangkaian kalimat). Seseorang harus mengetahui makna lafazh dan kandungannya (madlul siyaq).

Sehingga jika kita memperhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

(Tolonglah saudaramu, baik dia menzhalimi atau dizhalimi) [9] –HR Bukhari, no. 2343, Pent.-, maka kita akan mengetahui bahwa kezhaliman yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini bukanlah kezhaliman yang besar seperti halnya disebutkan dalam firman Allah:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“(Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar)”. – Luqmân/31 ayat 13.

Demikian juga kita akan mengetahui semisal sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita-wanita:

يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

(Mereka kufur terhadap suami) [10], Kufur disini bukan berarti kufur akbar, tetapi kufur (mengingkari) terhadap suami; kufur di bawah kekafiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan lainnya dari kalangan ahli tafsir dalam ayat semisalnya, (yaitu) firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [al-Maidah/5: 44]

فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [al-Maidah/5:45]

فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [al-Maidah/5:47].

Tentang tiga ayat dalam surat al-Maidah ini, ‘Abdullah bin ‘Abbas mengatakan kufur duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan dari iman), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman di bawah kezhaliman, yaitu kezhaliman yang tidak mengeluarkan dari iman), fisqun duna fisqin (kefasikan di bawah kefasikan, yaitu kefasikan yang tidak mengeluarkan dari iman). Bagaimana mereka mengetahui ini, mereka mengetahui dengan nash-nash yang lain. Maka harus memperhatikan sisi-sisi ini.

Perincian masalah ini panjang, namun saya mengingatkan bahwa dalam masalah itu terdapat ilmu-ilmu yang daqiq (pelik/komples), dan sebagian perkara-perkaranya sangat luas, sehingga sulit dipahami oleh sebagian manusia. Tak diketahuinya masalah ini oleh sebagian manusia, menyebabkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang berbahaya dalam masalah keyakinan dan muamalah.

Oleh karena itu, semua sisi dalam masalah ini seharusnya diperhatikan dan dicermati. Dengan beristi’anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla dalam memahaminya, sehingga seorang penuntut ilmu tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jika menetapkan sesuatu (masalah) hendaklah menyampaikannya kepada para ulama, sehingga mereka akan mengoreksi kesalahannya, jika memang ia melakukan kesalahan.

Kita memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua, wallahu a’lam. Semoga Allah memberikan salam dan berkah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______
Footnote
[1]. HR Muslim, no. 1599. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh Imam an-Nawawi dalam Arba’in an-Nawawiyah, hadits no. 6, dan Riyadhush-Shalihin, no. 588.
[2]. HR Muslim, no. 2577; at-Tirmidzi, no. 2495; Ahmad (5/154).
[3]. HR al-Bukhari, no. 3414.
[4]. Qs an-Nisâ`/4 ayat 43, al-Maidah/5 ayat 6.
[5]. Yaitu kitab-kitab yang menjelaskan makna kata-kata yang jarang dipergunakan dalam pembicaraan yang terdapat di dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terdapat di dalam kitab suci Al-Qur`ân.
[6]. HR al-Bukhari, no. 2475; Muslim, no. 57.
[7]. Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman dan menjadi kafir. Adapun Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman namun belum kafir, tetapi kedudukan berada di antara iman dan kekafiran. Itu hukum di dunia. Sedangkan hukum di akhirat, kedua kelompok itu berpendapat sama, bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka, tidak ada syafa’at baginya. Pemahaman kedua kelompok ini menyelisihi al-haq.
[8]. Murji’ah berpendapat bahwa dosa tidak merusak atau mengurangi iman. Pendapat ini menyelisihi al-haq.
[9]. Yang dimaksud menolong saudaranya ketika menzhalimi, yaitu dengan melarangnya dari berbuat zhalim sebagaimana kelanjutan hadits tersebut.
[10]. HR al-Bukhari, no. 29; Muslim, no. 885.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2764-kaidah-kaidah-menuntut-ilmu.html

Rabu, 08 Maret 2017

Wahai Syaikh, Putriku Durhaka Kepadaku | Syaikh Dr. Sulaiman ar-Ruhaily


Kamis, 16 Februari 2017

DUNIA DI MATA HASAN AL-BASHRI


Al-Hasan al-Bashri menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, isi surat tersebut menjelaskan tentang hakikat dunia. Teks surat tersebut adalah sebagai berikut:

Amma ba’du.. Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dunia adalah rumah persinggahan dan perpindahan bukan rumah tinggal selamanya.

Adam diturunkan ke dunia dari surga sebagai hukuman atasnya, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya orang yang berhasrat kepada dunia akan meninggalkannya, orang yang kaya di dunia adalah orang yang miskin (dibanding akhirat), penduduk dunia yang berbahagia adalah orang yang tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Jika orang yang berakal lagi cerdik mencermatinya, maka dia melihatnya menghinakan orang yang memuliakannya, mencerai-beraikan orang yang mengumpulkannya. Dunia layaknya racun, siapa yang tidak mengetahuinya akan memakannya, siapa yang tidak mengetahuinya akan berambisi kepadanya, padahal, demi Allah itulah letak kebinasaannya.

Wahai Amirul Mukminin, jadilah seperti orang yang tengah mengobati lukanya, dia menahan pedih sesaat karena dia tidak ingin memikul penderitaan panjang. Bersabar di atas penderitaan dunia lebih ringan daripada memikul ujiannya. Orang yang cerdas adalah orang yang berhati-hati terhadap godaan dunia. Dunia seperti pengantin, mata-mata melihat kepadanya, hati terjerat dengannya, pada dia, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan kebenaran, adalah pembunuh bagi siapa yang menikahinya.

Wahai Amirul Mukminin, berhati-hatilah terhadap perangkap kebinasaannya, waspadailah keburukannya. Kemakmurannya bersambung dengan kesengsaraan dan penderitaan, kelanggengan membawa kepada kebinasaan dan kefanaan. Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, bahwa angan-angannya palsu, harapannya batil, kejernihannya keruh, kehidupannya penderitaan, orang yang meninggalkannya adalah orang yang dibimbing taufik, dan orang yang berpegang padanya adalaah celaka lagi tenggelam. Orang yang cerdik lagi pandai adalah orang yang takut kepada apa yang dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menimbulkan rasa takut, mewaspadai apa yang Allah telah peringatkan, berlari meninggalkan rumah fana kepada rumah yang abadi, keyakinan ini akan sangat terasa ketika kematian menjelang.

Dunia wahai Amirul Mukminin, adalah rumah hukuman, siapa yag tidak berakal mengumpulkan untuknya, siapa yang tidak berilmu tentangnya akan terkecoh, sementara orang yang tegas lagi berakal adalah orang yang hidup di dunia seperti orang yang mengobati sakitnya, dia menahan diri dari pahitnya obat karena dia berharap kesembuhan, dia takut kepada buruknya akibat di akhirat.

Dunia wahai Amirul Mukminin, demi Allah dunia hanya mimpi, sedangkan akhirat adalah nyata, di antara keduanya adalah kematian. Para hamba berada dalam mimpi yang melenakan, sesungguhnya aku berkata kepadamu wahai Amirul Mukminin apa yang dikatakan oleh seorang laki-laki bijak,

‘Jika kamu selamat, maka kamu selamat dari huru-hara besar itu. Jika tidak, maka aku tidak mengira dirimu akan selamat’.

Ketika surat al-Hasan al-Bashri ini sampai ke tangan Umar bin Abdul Aziz, beliau menangis sesenggukan sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya merasa kasihan kepadanya. Umar mengatakan, “Semoga Allah merahmati al-Hasan al-Bashri, beliau terus membangunkan kami dari tidur dan mengingatkan kami dari kelalaian. Sungguh sangat mengagumkan, beliau adalah laki-laki yang penuh kasih terhadap kami (pemimpin), beliau begitu tulus kepada kami. Beliau adalah seorang pemberi nasihat yang sangat jujur dan sangat fasih bahasanya.”

Umar bin Abdul Aziz membalas surat al-Hasan dengan mengatakan:
“Nasihat-nasihat Anda yang berharga telah sampai kepadaku, aku pun mengobati diriku dengan nasihat tersebut. Anda menjelaskan dunia dengan sifat-sifatnya yang hakiki, orang yang pintar adalah orang yang selalu berhati-hati terhadap dunia, seolah-olah penduduknya yang telah ditetapkan kematian sudah mati. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.”

(Perjalanan hidup khalifah yg agung Umar bin Abdul Aziz)

sumber

Rabu, 08 Februari 2017

JAUHI EMPAT PERKARA AGAR TIDAK BINASA


Manusia diciptakan di dunia adalah untuk beribadah kepada Allâh Yang Maha Pemurah. Oleh karena itu, kewajiban manusia adalah memperbanyak amal shalih yang dituntunkan dengan landasan keimanan dan keikhlasan.

Saudaraku! Kita harus selalu ingat dan waspada bahwa akhirat itu sangat dekat. Itulah sebabnya berbekal untuk akhirat harus disegerakan, tidak boleh ditunda-tunda. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allâh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Hasyr/59:18]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala, (وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ  )“hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)’ yaitu hendaklah seseorang dari kamu memperhatikan, apa yang telah dia amalkan? Apakah amal shalih yang akan menyelamatkannya? Atau sesuatu (amal buruk) yang akan mencelakankannya?” [Tafsir Zâdul Masîr, 4/264]

Sesungguhnya banyak sekali amal-amal shalih yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad n yang mulia yang memiliki pahala berlipat ganda. Akan tetapi selain itu, seorang hamba harus menjauhi segala perkara yang akan merusak amalannya. Jika tidak, maka amalannya akan sia-sia, dan dia tidak akan mendapatkan manfaatnya. Di antara perusak amal yang harus di jauhi adalah empat perkara berikut ini:

DOSA DAN KEMAKSIATAN
Dosa dan kemaksiatan, dua perkara yang paling banyak menggugurkan kebaikann dan memberatkan timbangan keburukan. Melakukan satu perbuatan dosa, seperti zina, atau melanggar larangan Allâh Azza wa Jalla ketika sendirian, sudah cukup untuk menggugurkan kebaikan-kebaikan walaupun sebesar gunung. Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bersabda:

عَنْ ثَوْبَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ : أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

Dari Tsaubân, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa Beliau bersabda, “Aku benar-benar mengetahui rombongan-rombongan orang dari umatku, mereka akan datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan-kebaikan sebesar gunung Tihâmah yang berwarna putih, akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikannya sebagai debu yang berhamburan”. Tsaubân Radhiyallahu anhu  berkata, “Wahai Rasûlullâh! Terangkan sifat mereka kepada kami! Terangkan keadaan mereka kepada kami, agar kami tidak termasuk golongan mereka padahal kami tidak mengetahui!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya mereka itu adalah saudara-saudara kamu, dan dari kulit kamu, mereka mengisi sebagian malam sebagaimana kamu mengisi, namun mereka adalah rombongan-rombongan orang yang jika menyendiri, mereka melanggar  perkara-perkara yang diharamkan oleh Allâh”. [HR. Ibnu Majah, no. 4245; dishahihkan oleh syaikh al-Albani; syaikh Salim al-Hilali dan lainnya]

Oleh karena itu kewajiban kita untuk bertaqwa kepada Allâh dimana saja berada, baik ketika sendirian atau ketika bersama banyak orang. Begitulah yang diwasiatkan oleh di dalam haditsnya:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Bertaqwalah kepada Allâh Azza wa Jalla dimana saja engkau berada; Iringilah keburukan dengan perbuatan baik! Niscaya kebaikan itu akan menghapusnya; Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlaq yang baik”. [HR. Ahmad, 5/153, 158, 177, 236; At-Tirmidzi, no. 1987; Ad-Dârimi, 2/323; Al-Hâkim, 1/54; At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, 20/145, Mu’jamul Ausath, 4/125, Mu’jamus Shaghîr, no. 350. Dimuat oleh Imam Nawawi dalam Arba’in, no. 18. Hadits dinilai sebagai hadits yang hasan oleh oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahîhul Jâmi’, no. 97]

‘UJUB DAN TERPERDAYA DENGAN AMAL-AMAL SHALIH
‘Ujub (membangakan diri) dan terpedaya dengan amalan-amalan shahih akan membatalkan pahalanya. Pelakunya menyangka dia akan masuk surga hanya dengan amalnya saja. Seorang Muslim harus tahu bahwa dia mampu melaksanakan amalan-amalan shalih itu karena karunia dan taufiq Allâh. Jangan sampai dia terpedaya dengan banyak amalannya, karena dia tidak tahu, apakah amalannya akan diterima oleh Allâh atau tidak? Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla hanya menerima amalan shalih dari orang-orang yang bertaqwa sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya Allâh hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa [Al-Mâidah/5: 27]

Juga seorang Muslim harus tahu bahwa semua amalan-amalan shalihnya tidak sebanding dengan satu nikmat dari nikmat-nikmat yang Allâh anugerahkan kepadanya, seperti nikmat penglihatan. Belum lagi, jika seseorang jujur melihat kenyataan, dia akan dapati banyak sekali para hamba Allâh Azza wa Jalla yang lebih banyak amalannya dan pahalanya daripada dia. Lalu kenapa dia harus membanggakan amalannya?

MENGGANGGU HAK ORANG LAIN
Mengganggu hak orang lain dan menyakiti mereka dengan perbuatan ghibah, celaan, makian, namimah, atau mengambil hak mereka dengan cara yang tidak dibenarkan agama, semua perbuatan itu akan menyebabkan kebaikan-kebaikan seseorang pada hari kiamat akan hilang. Kebaikan-kebaikan itu akan diberikan kepada orang-orang yang dia ganggu atau dia langgar hak-hak mereka. Sehingga dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan bangkrut dari kebaikan-kebaikan, padahal sebelumnya dia sudah memiliki pahala yang begitu banyak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keadaan orang yang bangkrut pada hari kiamat di dalam haditsnya berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu siapakah orang bangkrut itu?” Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku yaitu orang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Tetapi dia mencaci orang ini, menuduh orang ini, makan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil lalu ditimpakan padanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” [HR. Muslim, no. 2581]

KEBURUKAN YANG DOSANYA TERUS BERJALAN
Sesungguhnya ada keburukan-keburukan yang dosanya terus berjalan memakan kebaikan-kebaikan seseorang walaupun pelakunya telah meninggal dunia. Di antara keburukan-keburukan yang dosanya terus berjalan adalah menyesatkan kaum Muslimin dan merusak mereka, seperti fatwa dengan tanpa ilmu, menjauhkan seorang Muslim dari ketaatan, menyebarkan kaset-kaset yang membolehkan hal-hal yang haram atau video-video porno kepada orang lain, membeli parabola atau membuat jaringan internet untuk melihat video porno, dan lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa membuat perbuatan yang buruk di dalam agama Islam (seperti kemaksiatan, bid’ah, dan lainnya, kemudian diikuti oleh orang-orang lain-pen), dia menanggung dosanya dan  dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun [HR. Muslim, no. 2674, dari Jarîr bin Abdullah]

Akhirnya, kita memohon kepada Allâh agar menjadikan amalan kita ikhlas untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla dan agar memberikan manfaat kepada semua orang Islam, dan semoga Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada kita semua kematian yang baik setelah panjangnya umur dan bagusnya amal. Wahai Allâh jadikanlah akhir umur kami di dalam amalan ketaatan, Aamiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diambil dari Tsalasûna ‘Amalan Tuthîlu fil ‘Nmr, hlm. 39-43, karya Amir bin Muhammad al-Madari, Penerbit: Darul majd lin nasyr wat tauzi


Sumber: https://almanhaj.or.id/6340-jauhi-empat-perkara-agar-tidak-binasa.html

Senin, 02 Januari 2017

Kalau Ia Berdoa Pasti Dikabulkan


Bismillah, alhamdulillah washolatu wasallam ‘ala rasulillah amma ba’ad.

Di dalam Shahih Muslim, Usair bin Jabir meriwayatkan bahwa setiap datang masyarakat rombongan Yaman, Khalifah Umar bin Khathab radiallahu anhu selalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?”

Ada apa sebenarnya dengan Uwais? Mengapa orang sehebat Umar bin Khathab bertanya tentang Uwais? Kita lihat bagaimana selanjutnya kisah ini.

Begitu Uwais datang, Umar berkata, “Apakah kamu Uwais bin Amir?”

Uwais menjawab, “Iya benar.”

Umar bertanya lagi untuk meyakinkan, “Apakah kamu berasal dari masyarakat Murat kemudian masyarakat Qaran?”

Uwais menjawab, “Iya.”

Kemudian Umar bertanya lagi, “Dulu kamu pernah punya sejarah sakit, berubah warna kulitnya kemudian sembuh tapi tersisa hanya sebesar uang dirham dan masih ada bekasnya?”

Uwais menjawab, “Ya.”

Kemudian Umar masih bertanya lagi untuk meyakinkan, “Kau punya seorang ibu?”

Kemudian Uwais menjawab, “Ya.”

Barulah Umar yakin dengan semua data yang ditanyakan. Ternyata, Uwais al-Qarni ini telah disebut-sebut oleh Rasulullah ﷺ ketika beliau masih hidup.

Padahal Uwais tidak pernah bertemu dengan Rasulullah ﷺ tentang barokahnya Uwais ini. Rasulullah sampai berkata, “Akan datang kepada kalian, seseorang bernama Uwais ibn Amir bersama rombongan masyarakat Yaman. Dia berasal dari Murat kemudian dari Qaran. Dia pernah sakit kemudian berubah warna kulitnya, dan ketika sembuh yang tersisa hanya sebesar dirham. Dia punya seorang ibu, betapa baktinya Ia kepada ibunya.”

Ternyata semua yang ditanyakan Umar, itulah kalimat Nabi. Umar ingin memperjelas data ini, benarkah data ini? Kalau memang benar, maka benarlah ia Uwais ibn Amir.

Apa istimewanya Uwais?

Rasul ﷺ melanjutkan, “Kalau ia bersumpah Demi Allah, Allah akan penuhi  permintaannya.” Subhanallah. Ada orang yang kalau dia berdo’a dan bermunajat, pasti Allah kabulkan. Selanjutnya Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau ada di antara kalian yang bisa mendapatkan do’a ampunan dari Uwais, maka mintalah.”

Maka Umar bin Khattab bertanya tentang Uwais itu untuk meminta do’a ampunan ini, karena pasti dikabulkan. Semua permintaan Uwais pasti dikabulkan oleh Allah subhana wa ta’ala. Maka Umar berkata, “Mohonkan ampun untuk saya.” Maka Uwais pun memohonkan ampun. Dan begitulah Uwais al-Qorni.

Kemudian, bahkan di tahun berikutnya ketika ada rombongan Yaman lagi, Umar masih bertanya, “Uwais ada tidak bersama kalian?”

Ternyata dijawab, “Uwais tidak punya bekal sehingga dia tidak ikut bersama kami.”

Dan kemudian orang itu bertanya, “Mengapa kamu bertanya tentang Uwais?”

Kemudian Umar menyampaikan hadist Nabi tentang Uwais tadi. Begitu orang itu pulang, orang  itu meminta agar dido’akan, dimohonkan ampun oleh Uwais.

Uwais berkata, “Kamu yang baru pulang dari perjalanan mulia yaitu perjalanan haji, maka kamu yang mendo’akan saya.”

Orang yang baru pulang haji berkata, “Tidak, kaulah yang mendo’akan aku. Do’akan aku.”

Kemudian akhirnya Uwais bertanya, “Pasti kamu bertemu Umar?”

Dia berkata, “Iya.”

Maka kemudian Uwais mendo’akannya. Subhanallah, ini orang yang mahal. Perlu kita catat dan digaris tebal ini bahwa ini orang yang mahal untuk zaman seperti ini. Ketika nyaris rasanya sulit mencari orang yang do’anya langsung didengar Allah subhana wa ta’ala karena terlalu banyak memasukkan barang yang haram. Maka kalau hari ini ada yang do’anya langsung didengar oleh Allah subhana wa ta’ala, betapa mahalnya orang itu. Dan ternyata salah satu cara untuk menjadi orang barokah seperti Uwais, sehingga do’anya selalu didengar oleh Allah subhana wa ta’ala adalah kalimat Rasul: Bahwa Uwais mempunyai ibu dan betapa baktinya ia kepada ibunya. Berbaktilah kepada kedua orangtua agar hidup kita diberkahi oleh Allah subhana wa ta’ala, sehingga setiap kita meminta, Allah pasti akan mengabulkannya.

Semoga Allah subhana wa ta’ala memberkahi kita semua.

Wallahu ta’ala ‘alam bishowab.


Artikel ini merupakan transkripsi dari podcast audio Serial Berkah bersama Ust. Budi Ashari, Lc. Versi audio bisa didapatkan langsung di HP/gadget anda dengan bergabung ke Channel Telegram Siroh Nabawiyyah (@sirohnabawiyyah).